in

Dating : Apa yang Disaksikan Setangkai Kembang

h2>Dating : Apa yang Disaksikan Setangkai Kembang

Lama ia berjongkok, menatapiku. Selama itu, ia menutup matanya berkali-kali seakan ingin meluruhkan sesuatu. Namun, tak ada apa pun yang luruh dari matanya selain sehelai bulu mata. Ia tak mengetahuinya, tetapi aku melihatnya.

Aku tak hanya bisa melihat apa yang luruh dari matanya. Aku juga bisa menyaksikan banyak hal yang diceritakan oleh sepasang matanya.

Setiap malam, setiap kali terjaga, ia akan keluar, menuruni tangga, kemudian berjongkok di hadapanku. Ia menatapiku lama-lama. Selama itulah sepasang matanya bercerita banyak hal padaku. Meski begitu, ada satu hal yang tetap tak bisa kupastikan mengenai dirinya, yaitu posisinya di tempat ini. Apakah ia seorang relawan ataukah sebenarnya ia seorang pasien. Sepasang matanya tak pernah benar-benar mau menjelaskan hal itu padaku.

Seseorang mendekat. Ia sama sekali tak menyadarinya.

“Tak bisa tidur?”

Ia mendongak. Tatapannya memaku pria dengan wajah berpeluh yang kini berdiri di dekatnya. Lalu ia lekas berdiri. “Bagaimana kondisinya?” Wajahnya menyiratkan kekhawatiran.

Pria di dekatnya tak lekas menjawab.

“Kali ini dia agak sulit diatasi, jadi kami terpaksa memasukkannya ke kamar isolasi.” Pria itu berkata setelah sebentar mendongak menatap langit lalu sedikit menyunggingkan senyum sebagai bentuk penghiburan.

“Ini semua salahku.”

Pria itu menatapnya. “Tak baik terus menerus menyalahkan diri. Oya, bagaimana luka Anda? Sudah lebih baik?” Pandangan matanya beralih ke lengan kanan perempuan di hadapannya.

Ia memeriksa lengannya yang terbalut perban, yang menjadi pusat perhatian pria tadi.

Selama berjongkok menatapiku tadi, aku tahu dari mana luka itu berasal. Seseorang yang malam ini harus berdiam di kamar isolasi itulah yang memberikannya. Orang itu dikirim ke tempat ini jauh sebelum ia datang. Seorang wanita paruh baya, yang jika bukan karena diketahui kondisi kejiwaannya bermasalah, seharusnya kini mendekam di penjara karena terbukti dan telah mengakui membunuh sekaligus memutilasi suami dan anak-anaknya sendiri.

“Ini tidak sakit.” Ia menjawab setelah sedikit memeriksa kondisi lengannya.

“Semestinya dari awal saya memberitahu Anda kalau dia harus dijauhkan dari benda tajam itu.”

“Aku yang ceroboh.”

“Anda hanya berniat mengupaskan mangga itu untuknya.”

“Aku tidak pernah menduga kalau dia akan sehisteris itu melihat pisau.”

“Anda tidak mengetahuinya. Bukan salah Anda.”

Ia mengerjap-ngerjapkan matanya. Sehelai bulu matanya luruh lagi. Ia tak mengetahuinya, tetapi aku melihatnya. Kemudian seakan menyadari sesuatu, ia gegas berlari. Pandangan pria yang tadi berdiri di dekatnya mengikuti ke mana ia berlari. Ia menaiki tangga, memasuki kamarnya, kemudian kembali dengan beberapa helai tisu di tangan.

“Ini,” katanya, menyodorkan tisu yang dibawanya kepada pria itu. “Buat wajah Anda.”

Si pria menerima tisu tadi untuk menyeka peluh di wajahnya. “Kenapa belum tidur?”

“Terlalu berisik.”

Pria di dekatnya berhenti menyeka peluh. “Keributannya terdengar sampai sini?”

“Bukan.”

“Lalu?”

Bukannya menjawab ia malah kembali berjongkok, menatapiku lagi. “Yang kumaksud adalah pikiranku.”

Aku ingat sepasang matanya pernah bercerita bahwa dunia dalam pikirannya jauh lebih berisik dibanding dunia yang sebenarnya. Ada banyak hal buruk yang tak bisa enyah dari ingatannya.

“Aku ingin anak itu mati.” Melalui sepasang matanya tempo hari, untuk pertama kalinya aku mendengar kalimat mengerikan semacam itu terlontar dari mulutnya. Kutebak saat itu malam, karena kusaksikan langit dan keadaan di sekitar yang kusaksikan dari sepasang matanya temaram. Ia berdiri di tepi balkon, dengan pria yang kini ada di dekatnya, berdiri di belakangnya.

“Bukankah itu tidak adil? Bukan anak itu yang menyakiti Anda.”

“Ya, tapi…,” jemarinya meremas pagar besi yang ada di hadapannya, “bukankah penderitaan terbesar seorang ibu adalah ketika ia kehilangan anak yang dicintainya? Kupikir seharusnya begitu.”

“Jadi, maksud Anda, Anda ingin anak itu mati agar wanita itu menderita?”

Ia membiarkan pertanyaan itu mengambang di udara.

“Anda tak akan bisa melakukannya.”

“Kenapa Anda begitu yakin aku tak bisa melakukannya?”

“Saya perhatikan, Anda bukan tipe orang yang tega membiarkan seorang anak menderita, apalagi sampai membiarkannya mati.”

“Tergantung anak siapa. Aku tak bisa tega membiarkan anak tertentu menderita, juga sebaliknya, aku bisa begitu tega membiarkan anak tertentu mengalami hal yang aku kehendaki.”

“Sekalipun bisa, Anda tak boleh melakukannya.”

“Kenapa? Kenapa aku tak boleh melakukannya? Bukankah Tuhan Anda juga melakukannya? Ia menolong hambanya yang Ia kehendaki, begitu juga sebaliknya, membiarkan hamba yang lainnya tetap menderita, sementara orang-orang terus menganggapnya Tuhan yang Mahabaik.”

Tadinya aku tak tahu siapa wanita yang ia maksud, mengapa ia begitu menginginkan wanita itu menderita. Pelan-pelan, tiap kali ia berjongkok menatapiku, aku mendapatkan jawaban dari sepasang matanya. Wanita itu adalah orang yang telah merampas segalanya darinya. Kebahagiaan masa kecilnya dan kasih sayang ayahnya. Wanita yang juga telah dianggapnya menjadi penyebab ibunya melakukan pendekatan tak masuk akal kepada Tuhan, demi membuat lelaki yang dicintainya kembali, hingga untuk sekian tahun lamanya membiarkan ia terabai, terasing, dan terbuang. Juga membuat dirinya terpaksa mengakrabi kesendirian dan kesepian. Wanita yang tiba-tiba datang kepadanya, meminta bantuannya untuk meminjaminya sejumlah uang guna biaya operasi anak bungsunya yang baru berusia sepuluh tahun, yang kini terbaring di rumah sakit.

Kemudian pikiran jahat itu muncul. Pikiran untuk membuat si wanita merasakan luka yang selama ini ditanggungnya diam-diam. Ia mengatakan tak bisa membantunya, meski sebenarnya ia memiliki uang yang wanita itu butuhkan.

“Seandainya bisa, aku bahkan ingin memasang CCTV di segala tempat hanya demi bisa menyaksikannya mengemis-ngemis ke banyak orang untuk mendapatkan pinjaman uang yang dibutuhkannya itu. Aku sungguh ingin melihatnya. Aku sungguh ingin melihat apakah Tuhan Anda membantunya. Kalau Ia membantunya, mengapa Ia tak melakukan hal yang sama terhadapku sejak dulu? Atau terhadap ibuku yang sudah mengorbankan segalanya, termasuk aku, hanya untuk memohon kepadaNya. Permohonan yang tak pernah ditanggapiNya. Mengapa Ia terus membiarkanku mengahadapi segalanya sendirian, sementara Ia menolong yang lainnya, membuat yang lainnya bisa hidup lebih beruntung?”

Awalnya aku pikir ia benar-benar segila itu, ternyata tidak. Pada malam-malam berikutnya, sepasang matanya menunjukkan hal lain yang begitu kontras. Ada saat-saat ia tak bisa mengendalikan pikirannya sendiri. Ada saat ia merasa kehilangan dirinya di waktu-waktu tertentu, dan ia sama sekali tak mengerti mengapa.

“Aku juga ingin tahu ke mana suaminya.” Ia menyungging senyum mencemooh. “Mengapa kini dia tega membiarkan istri tercintanya itu luntang-lantung sendiri mencari pinjaman?”

Di malam lainnya, dari sepasang matanya aku tahu ia kemudian mendapatkan jawaban atas pertanyaannya itu. Suami wanita itu telah lama menikah lagi dengan wanita lain. Sementara wanita itu berjuang mempertahankan hidup anak bungsunya, suaminya kini sudah tak mau ambil peduli sebab sudah terlalu direpotkan dengan keluarga istri barunya. Suaminya sendiri kewalahan soal keuangan.

“Apa sebenarnya yang lelaki itu pikirkan?”

Ia tertunduk dengan bahu gemetar. Aku melihat kilasan-kilasan kejadian dalam ingatannya. Tak hanya satu. Kilasan-kilasan yang tak jelas apakah satu kejadian ada kaitannya dengan kejadian yang lainnya. Terlalu banyak, aku tak mampu menyusun dan memastikannya secara penuh. Bersamaan dengan kemunculan kilasan-kilasan tadi dalam ingatannya, kesepuluh jemarinya berulang kali mengepal, dari mulutnya keluar erangan yang terdengar samar, lalu ia mulai menitikkan air mata.

Pria di hadapannya sedikit terkejut mendapati reaksinya, tetapi tampaknya kemudian memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa. Lelaki itu hanya memandanginya dengan penuh pengertian. Lalu sebentar kemudian didapatinya reaksi perempuan di hadapannya segera berubah.

Ia mendongak. “Anda benar, aku tak mungkin tega membiarkan anak itu mati.” Kemudian ia berbalik, membawa langkahnya bergegas turun, meninggalkan pria itu, membiarkannya menatapi punggungnya hingga menghilang di kelokan tangga.

Ketika sampai di kamarnya, ia mengunci diri. Lalu tampak mencari-cari sesuatu seperti orang tak sabaran. Ponsel pintarnya, ia temukan di bawah bantal setelah sukses membuat meja tempatnya biasa menulis berantakan. Kemudian ia duduk di tepi ranjangnya dan melakukan sesuatu dengan ponsel pintarnya itu untuk sesaat sebelum akhirnya menelepon seseorang. Seorang wanita. Ia memberitahunya bahwa sejumlah uang baru saja ditransfer ke rekeningnya.

“Gunakan uang itu untuk biaya operasi anakmu, dan tak perlu kamu mengembalikannya,” katanya kepada wanita yang menerima panggilan teleponnya. Setelah ia selesai berurusan dengan ponsel pintarnya dan wanita itu, tangis itu pecah. Tangis yang sekuat hati ditahannya agar tak terdengar oleh siapa pun. Tubuhnya menggelongsor dari tepi ranjang. Ia duduk berselonjor pada mulanya, lalu pelan-pelan menarik kakinya hingga ia duduk dalam posisi memeluk lutut, dengan tangis yang masih bertahan. Semalaman ia terus terjaga dalam kondisi semacam itu, sendirian.

Read also  Dating : Starting Over: I Need An Interpersonal Relationship Overhaul

What do you think?

22 Points
Upvote Downvote

Laisser un commentaire

Votre adresse e-mail ne sera pas publiée. Les champs obligatoires sont indiqués avec *

Dating : How many dates/time until making the relationship official?

POF : Will he ever give up ?🙄