in

Dating : Midnight Memories.

h2>Dating : Midnight Memories.

Tengah malam begini biasanya saya bermalam di kamar kakak saya. Namun tiba-tiba saya ingin duduk di teras rumah. Tanpa berpikir panjang, saya langsung membuka pintu utama dan duduk di bangku teras rumah. Saya menyandarkan diri di kursi berwarna merah kesukaan saya, lalu menoleh ke arah rumah Bobby.

Bobby adalah pria yang masih saya sayangi dari awal bertemu, hingga sekarang.

Pikiran saya melambung ke masa ketika saya dan dirinya masih bersama, seketika senyuman saya mengembang. Sedikit aneh jika saya masih bisa tersenyum ketika mengingat masa masa indah tanpa mengetahui pada akhirnya saya dibuang begitu saja oleh Bobby.

Tibatiba ada bunyi pintu yang seakan dibuka dari dalam, saya menoleh ke pintu yang ada di sebelah saya, masih tertutup. Saya menoleh lagi ke pintu rumah Bobby dan ternyata ada Bobby yang sedang berdiri disana, menatap saya yang sedang menatapnya juga.

Detak jantung saya berdebar ketika melihat wajahnya lagi. Setelah sekian lamanya tak pernah terlihat. Saya berusaha untuk menahan senyum yang biasanya langsung mengembang ketika melihat Bobby.

Dipikir lagi, terakhir saya melihat Bobby di saat malam itu, di saat saya merasa gelagat tubuhnya yang aneh dan tanpa mengetahui apa yang ada di pikirannya. Ah, kenangan di malam itu kembali memenuhi pikiran saya.

Dari sebrang sana, ada Bobby yang masih menatap saya dan mungkin yang berusaha berpikir dengan jernih. Saya tersenyum, dan detak jantung saya berdetak lebih kencang ketika Bobby membalas senyuman saya.

Lalu Bobby masuk dan menyalakan mobil BMWnya yang berada di garasi rumahnya. Saya masih memperhatikan kemana arah mobil itu berjalan dan entah mengapa mobilnya berhenti di depan rumah saya.

Saya tertegun sejenak, detak jantung saya semakin terdengar sampai dimana Bobby keluar dari mobilnya dan berdiri di depan gerbang rumah saya.

Saya menelan saliva beberapa kali, lalu berdiri dan segera menghampiri Bobby. Sembari berharap dalam hati agar menguatkan hati untuk bisa menanyakan beribu pertanyaan yang selama ini menghantui malam malam saya.

Saya terdiam menatapnya rindu. Teringat ketika ia pergi meninggalkan saya tanpa kabar, dan sekarang, datang seenaknya tanpa mengucap aba-aba.

« Temenin yuk? » kata Bobby dengan senyuman khasnya.

Yang mana saya lemah terhadap senyuman tersebut. Senyuman mematikan itu sanggup membuat saya seperti orang gila selama tiga tahun penuh.

Senyuman itu menusuk saya tanpa pisau, merusak mental saya tanpa kata, dan menghancurkan harapan saya yang sudah saya rancang sebaik arsitek merancang sebuah rumah berharga 1 miliyar.

Tentu saja tanpa berpikir panjang saya mengiyakan ajakan Bobby dan berlari kecil menuju mobilnya dengan tersenyum konyol layaknya anak kecil yang bertemu dengan badut kartun disney.

Dengan menggunakan hoodie oversized milik Junho yang awalnya bertujuan untuk melindungi saya dari dinginnya malam, saya masuk ke mobil Bobby. Saya menatap sang pengemudi tanpa berkata, begitu pula dengan Bobby. Ia segera menyalakan mesin mobilnya dan pergi dari komplek rumah kami lalu pergi entah kemana saya tidak tahu. Mungkin, Bobby akan pergi ke suatu tempat yang sesuai kata hatinya. Mungkin.

Mobil Bobby sudah berjalan beberapa ratus meter dari gerbang perumahan kami. Tentu tanpa adanya suara yang terdengar. Terlalu sunyi.

Saya pun hanya menatap lurus ke arah jalanan walau saya sudah benar benar tidak lagi berbentuk. Sedangkan Bobby terlihat lebih tegang dari sebelumnya, saya juga melirik ia beberapa kali menelan salivanya.

Sesaat melihat wajah Bobby, di perut saya seperti ada kembang api yang sedang menyala dengan meriah.

Tiba-tiba pikiran saya sudah melayang dimana dirinya dan saya berciuman untuk yang pertama dan terakhir kalinya di malam itu, dimana Bobby harus meninggalkan saya tanpa memberitahu saya apapun.

Ciuman itu memang sudah lama terjadi, namun seakan masih terasa baru. Terlebih ketika saya teringat kedua bibir yang bertautan saling membalasnya. Pikiran saya semakin larut dalam kenangan malam itu.

Bobby memberhentikan mobilnya secara mendadak dan membuat pikiran saya menjadi buyar. Saya menoleh menatapnya, ia sedang memejamkan matanya, menyenderkan kepalanya di senderan mobil.

Mungkin… ia juga sedang memikirkan hal yang sama seperti yang saya pikirkan?

Dan mungkin… ia merasa bersalah karena pergi tanpa memberitahu apapun kepada saya. Sedikit khawatir, saya menoleh sepenuhnya menghadap Bobby.

« Hey, kamu gapapa? » Tanya saya dengan berhati-hati sembari menyentuh pundaknya lembut.

Bobby mengangguk, namun tidak memindahkan kepalanya dari senderan mobil.

« You could tell me everything, if you want to, » Ucap saya pelan, « Tapi kalau emang nyamannya kayak gini juga gapapa. »

Seketika Bobby kembali duduk tegap namun kini posisinya tengah menatap saya. Ia memusatkan perhatiannya kepada saya yang sedang tersenyum kecil menatap dirinya.

Namun tak lama senyum saya memudar, tatkala mengingat jika hubungan kami sudah berakhir tiga tahun yang lalu.

Garis wajah Bobby mengeruh, berusaha menatap lebih dalam mata saya. Berharap ia menemukan kesedihan yang bisa membuat dirinya semakin terjatuh dalam rasa bersalah.

His fingers caressed my face gently, from my forehead then down to my nose, moving to my cheeks before getting further to my chin. He stared at my eyes and began to find out what was actually inside my head. Seems he tried to not hugs me but ended up, he hugs me. He couldn’t hold his tears anymore. So, while hugging me, his tears coming down his face a bit.

« I’m sorry, I admited I was wrong, I’m so sorry, » He said.

He saying sorry for himself. He saying sorry for the past. He saying sorry for the girl he’s kissing now.

It’s me. I’m the girl he’s kissing now.

He kissing me and taking it slow. It has been 15 minutes for our kiss only. Our tongue noises fill his luxurious BMW car. I’m starting to lose my breath. He stopped our kissing for a while, for giving me a second to breathe.

After that, he pressed his lips to mine so tightly, meanwhile his hands went to grab my body and pulled it closer to him. He didn’t have any excuse for doing this. But you know, I’m too naive if I say I didn’t like it.

He holds my face so fondly as he kissed me deeper. The way he moves his head and lips is so accurate; settled but explosive.

We stopped and look at each other because the sound unexpectedly breaks the silence.

Junho is calling…

« Oh— » I said but before I completed my sentence, he began to kiss me again.

His thumb turns down and opened my mouth, he tilted his head. He deepened the kiss as he pushed his tongue inside of mine.

As the kiss grew hotter, he grabs my thigh and in one time, he scooped my body and put me on top of him; making me sitting on him.

« What if, people see us— »

« It’s already 1 AM, my window is darker than anything. It’s just you and me. Don’t worry,” He explained.

I nodded.

And after that, he looked at my eyes deeper than before. But the ringtone ringing again.

Junho is calling….

« Don’t respond it, only tonight, please, » He pleaded.

I kissed his lips shortly, « How could I respond to his calls while I miss you?”

He giggled, « I miss you too, I’m sorry I couldn’t make it that night— »

I hugged him deeper, « You don’t have to say sorry just because you couldn’t make it in the past. You must prepare your future because maybe, there’s me in your future…. » I mumbled.

« ……Or not. » I said without sound.

He stared at me, « If you couldn’t be in my future, at least you’ve been in my past. It was the happiest time ever. »

« Cause the past is forever. » We whispered it together.

We smiled.

After that, he kissed me again and again without any regrets.

Suddenly, Jaewon fulfills my notification with the message.

Jaewon: lo kemana

Jaewon: balik sekarang

Jaewon: lo sama bobby? tapi gamungkin sih.

Jaewon: tapi mobil dia gaada di garasinya.

Jaewon: suspicious.

Jaewon: balik ya adikku, udah malem.

Read also  Dating : Stop Regretting Your Relationship Decisions

What do you think?

22 Points
Upvote Downvote

Laisser un commentaire

Votre adresse e-mail ne sera pas publiée. Les champs obligatoires sont indiqués avec *

Dating : Four Lessons from A COVID Experience

Dating : Trash Days