h2>Dating : Persilangan Jalan
Jam dinding berteriak dalam kesunyian menunjukan waktu sudah hampir tengah malam. Detaknya mengalahkan derasnya rintik hujan yang menarik aroma dari dalam tanah hingga ke rongga hidung. Anak-anak sudah pulas di atas. Ruang gelap menyelimuti seorang perempuan dan seorang lelaki yang tengah bermesraan. Sang perempuan memangku kepala sang lelaki sambil mengusap rambutnya. Keduanya memejamkan mata, menikmati suara sekitar dan membiarkan isi kepala meriuhkan suasana.
“Kemarin, kucing ibu tetangga mati. Anak-anak menangis menjerit ketika melihat mayatnya yang sudah kaku di pinggir jalan. Entah kenapa bisa tewas seketika begitu. Katanya, tukang sayur tidak suka dengan kucing itu, lalu mengagetkannya ketika hendak mengambil ikan. Tak lama kemudian, mayatnya ditemukan. Ah, mengapa hewan yang polos tak berdosa harus hidup di dunia yang begitu keras? Salah apa mereka hingga diturunkan ke bumi?” Sang perempuan tidak mau kalah dengan jeritan jam dinding. Ia terus berbicara seolah tiada hari esok untuk berkata.
“Pinggang saya seminggu terakhir sakit, Sayang. Kalau kamu ada waktu, bolehkah saya minta pijit?”
Sang lelaki hanya terdiam, menikmati suara dan keluhan tanpa ingin berucap.
“Kamu selalu saja diam ketika saya bicara panjang lebar. ‘Kan saya jadi malu. Rasanya saya saja yang minta didengar. Berkatalah sesuatu, Sayang. Saya tak mau menjadi seorang saja yang berisik.” Kembali, tak ada jawaban. Hanya senyuman tipis dan tarikan alis menunjukan yang berarti mengiyakan.
“Huh, baiklah, terserah apa katamu saja.” Sang perempuan memajukan bibirnya, kesal. Sang lelaki hanya mengangkat lengannya untuk mengusap kepala dan pipi.
Luluh juga hati si perempuan.
“Iya, baiklah bila kamu ingin mendengar ocehan saya,” lanjutnya dengan hati yang sudah kembali tenang. “Sayang, saya tak sanggup dengar ibu yang terus mengeluhkan pegawai ayah. Ia hanya menuduh pegawai perempuan itu, melupakan bahwa ayah juga terlibat dalam kesepakatan di antaranya. Saya tidak mengerti kenapa ayah tega melakukannya sedangkan ibu juga tega terus menyalahkan si perempuan saja? Di sisi lain, saya enggan ikut campur! Cuma menambah masalah dan pikiran saja. Mereka sudah tua, tapi tak kunjung dewasa.” Sang perempuan terus bicara sambil mengusap lembut rambut si lelaki.
“Ah, ya, ya! Saya juga keherenan mengapa perempuan yang terus bicara dianggap salah atau memalukan sedangkan yang mendengar pun tidak betul-betul mendengar isi dari kalimat yang diucapkan. Saya baca kisah ini dari novel, sih. Perempuan yang cerewet digambarkan payah dan salah. Kejujurannya dianggap menjadi malapetaka keluarga. Padahal, tak ada satu kisah pun dituliskan bahwa ia pernah menyebar aib suaminya. Justru, ia penuh akan ketabahan dan kesabaran menunggu suaminya pulang melaut selama berminggu-minggu. Ia hanya berdiam di pantai, tidak makan dan minum sampai warga desa yang memberinya makan. Tapi, hingga akhir hayatnya, hanya cerewetnya saja yang diulang. Betapa malangnya seorang tokoh lahir menjadi seorang perempuan? Bahkan, si tokoh pun tidak bisa memilih lahir menjadi perempuan atau lelaki, tetapi masih saja ia dihinakan. Malang sekali dirinya…” Sang perempuan terus mengusap kepala si lelaki yang ia pangku dengan wajah memelas, prihatin akan nasib seorang tokoh di dalam kisah fiksi.
“Eh, tapi saya bicara begitu bukan karena saya membela diri atau mencari alasan pembenar lahir sebagai perempuan cerewet, ya! Saya bicara begitu karena resah saja. Bukan, bukan karena saya juga perempuan yang cerewet! Mengerti?” Sang lelaki hanya mengangguk sambil tersenyum, tetap menikmati suasana di sekitar tanpa harus ikut memberi suara.
Detak jam dinding semakin keras menjerit. Rintikan hujan semakin jarang. Para kodok mulai berpesta di got. Jangkrik masih bersembunyi di balik semak-semak. Anak-anak masih mendengkur di atas. Jarum jam mulai mendekati tengah malam. Sang perempuan dan sang lelaki masih dengan posisi memangku kepala dan dipangku. Keduanya menikmati bunyi alam yang segera berakhir. Tangan lembut sang perempuan terus mengusap rambut panjang sang lelaki. Sang lelaki hanya meringkuk menikmati hangatnya pangkuan dan usapan.
…
“Jadi, kapan kamu akan kembali?” Si perempuan kembali memecah bisu. Sang lelaki hanya diam menikmati belaian. “Kamu jangan sembarangan, ya. Saya bukan perempuan yang bisa membiarkan orang tersayang berkelana di dunia luar dan pikiran dengan masalahnya. Berbagilah masalah dengan saya. Kalaupun saya tidak bisa segera memberi solusi, setidaknya saya bisa berikan pelukan hangat agar kamu sedikit lebih tenang. Ah, kalau kamu sampai meminta untuk pergi, aku juga tidak bisa melarang.” Ia mengambil napas dalam setelah berkalimat panjang. “Pesan saya, janganlah kamu jadi seorang pengecut. Kembalilah, lalu tentukan pilihan. Sehabis itu, kamu bebas memutuskan langkah.”
. . .
Hujan menyisakan tetesan di genting. Jam dinding tetap bersikeras berteriak menunjukan waktu yang sudah tepat memasuki tengah malam. Aroma tanah semakin kuat tercium membawakan kehangatan di tengah dinginnya malam. Anak-anak masih pulas di atas. Sang perempuan duduk sendirian, mengelus pahanya yang kosong.
Ia mengambil benang dan tangkai besi di samping, mengaitkan untaian benang hingga terjalin suatu bentuk. Di tengah kesendiriannya, ia berbisik, “Saya tidak akan menunggu. Tetapi, ketika kamu bertandang nanti, jangan lupa membawa topi rajutan yang saya buat ini selama kamu pergi dan ingatkan saya untuk membacakan cerita ini untukmu.”