in

Dating : Cerpen : Menanti Ajal

h2>Dating : Cerpen : Menanti Ajal

Rezky Yayang Yakhamid
Sumber: Unsplash.com

Hari masih terlalu pagi. Matahari juga belum terbit. Kabut dingin masih menyelimuti tempat ini. Termasuk pula Hawa dingin menusuk seluruh tubuhku. Setiap hari aku tidur di sebuah kandang yang bertumpukan jerami, di belakang rumah majikanku. Aku tidak diberikan tempat istimewa oleh majikanku. Ingin rasanya aku protes. Tapi aku hanyalah hamba yang sedang menanti ajal.

***

Itu mestinya terjadi sekitar enam bulan yang lalu. Saat itu, aku masih kecil. Aku dibeli dengan harga yang murah oleh seorang direktur dari Bandung dari majikanku dulu. Majikanku dulu ialah seorang yang baik hati, lemah lembut, dan sangat menyayangiku. Dialah yang memberi makan dan tempat tidur gratis. Dialah pengganti ayah ibuku sejak aku menjadi yatim piatu. Ayah ibuku terbunuh di hari yang sama namun di tempat yang berbeda. Saat itulah aku mulai merasakan tinggal sendirian dengan hanya bersama juragan dan keluarga kecilnya yang bahagia.

Namun, keadaan itu berubah ketika majikanku bangkrut. Dijual lah seluruh aset miliknya termasuk tanah, sawah, dan ternaknya untuk menutupi hutang hutangnya. Aku dijual dengan harga murah kepada seseorang yang tampangnya tampak seperti direktur dari sebuah perusahaan. Aku tak tahu menahu bagaimana hal itu terjadi, aku hanya melihat mereka masuk ke dalam rumah, tampak sekali membicarakan sesuatu hal dan aku dibawa pulang oleh direktur itu setelah pembicaraan mereka rampung.

“Akan saya transfer secepatnya lewat bank” katanya sambil membawaku pulang ke rumahnya.

***

Hujan. Tetes air hujan menimpa atap kamarku sekarang. Air menetes menembus tebalnya atap jerami mulai membanjiri kamarku ini. Sepetak tanah dengan atap jerami dan batas berupa bambu geribik sudah cukup aku sebut sebagai kamar. Sebuah kamar yang menyerupai kandang semi gubuk yang memang lebih pantas jika disebut kandang. Di tempat itulah aku melihatnya pertama kali dalam sejarah hidupku. Seseorang remaja 20 tahunan yang tetap mencari kayu bakar dan rumput di kala hujan menerpa. Apakah ia sudah kebal terhadap dingin?

***

“Zul, sini kamu!” perintah direktur tersebut dengan nada agak membentak kepada pemuda yang sedang mencari rumput itu.

“Iya, pak. Ada apa? Ada yang bias saya bantu?” jawab pemuda itu sambil mendekat kepadanya.

“Alah. Nggak usah banyak cakap kamu. Kapan mau bayar hutang?” kata direktur tersebut.

“Tolong beri waktu seminggu lagi ya, tuan.” Kata Zul.

“Halah. Udah berani nglawan ya. Gini saja deh, kamu jadi pembantu saya selama setahun, nah gajinya untuk membayar hutang hutangmu itu.” Kata Pak adnan, nama seorang direktur tersebut.

“Baiklah, pak.” Kata Zul dengan terpaksa

“Oke, mulai besok kamu kerjain pekerjaan rumah saya, mulai dari cuci piring, masak, nyapu, ngepel, dan ngurusin kambing, serta ngurusin kebun saya.” Perintah Pak Adnan.

“Ya, pak” kata Zul dengan terpaksa.

Dengan terpaksa, ia menyetujuinya. Dari situlah aku kenal seorang pemuda pekerja keras yang bernama Zul. Sementara majikanku yang kejam itu bernama pak Adnan.

***

Keesokan harinya, ia mulai bekerja tanpa bayaran di rumah ini. Ia mengerjakan pekerjaan rumah, sementara majikanku pergi ke kantor. Sebelum ia pulang ke rumah gubuknya, ia sempatkan mampir ke kamarku. Sebuah kamar yang lebih pantas disebut kandang. Ia membersihkan kandangku dengan jemarinya yang cekatan, lalu memberi makanku dengan rumput yang dicarinya kemarin waktu hujan turun.

Ia memang manusia yang baik, sama seperti majikanku dulu, sayangnya aku bukan miliknya lagi. Dia adalah seorang yang rajin dan taat beribadah, berbeda sekali 180 derajat dengan majikanku, pak Adnan. Ia selalu malas-malasan ketika ada di rumah, sayangnya ia jarang berada di rumah. Ia sering pulang malam dalam keadaan mabuk pula, tidak pernah salat meski ia Islam, sombong, kikir, dan tidak berperikemanusiaan. Benar-benar dua sisi yang berbeda.

***

Pernah aku melihatnya marah marah dengan Zul karena masakan yang dibuatnya terlalu asin. Alasannya memang sederhana, tapi bukankah zul adalah seorang pencari rumput? Ia bukanlah seorang Makaji, juru masak terkenal dari tanah Minang. Pernah juga aku melihatnya pulang sampai larut malam, tubuhnya terombang-ambing seperti diterpa angin, ia sedang mabuk rupanya. Ia juga jarang salat dan jarang sedekah. Pulang jam 10 malam, langsung tidur kemudian bangun jam 7 langsung berangkat. Pernah ada seorang pengemis yang meminta-minta di depan rumahnya, kemudian ia usir pengemis itu dengan suara keras tanpa mengasih apa apa.

***

Dengan terpaksa, Zul meninggalkan rumah gubuknya untuk sementara waktu demi bekerja di rumah pak Adnan. Setiap hari ia membersihkan dan merapikan semua bagian rumah majikannya seperti rumahnya sendiri. Ia bahkan rela untuk tidak tidur untuk mencuci dan menyetrika baju baju pak Adnan. Ia pun rela bangun sebelum subuh untuk menyiapkan sarapan. Padahal, ia tidak dibayar.

Ia bekerja hanya untuk melunasi hutang keluarganya yang selama 10 tahun gagal dibayarnya sampai mereka meninggal. Orang tuanya telah tiada dan ia hidup sebatang kara sekarang. Berbeda dengan pak Adnan, ia masih mempunyai orang tua nun jauh di sana, ia sudah berkeluarga mempunyai istri dan 2 orang anak. Istrinya bekerja jauh di negeri seberang, anaknya telah sukses di Jepara, sedangkan anak yang satunya lagi masih menempuh jenjang kuliah demi menamatkan program S2nya di Australia. Pak adnan sendiri adalah seorang direktur utama dari sebuah perusahaan ternama miliknya di Bandung. Maka tak heran kalau rumahnya seperti istana raja dalam cerita cerita fiksi.

***

“Zul, kerjakan semua pekerjaan rumah hari ini dan 3 hari kedepan, jaga rumah ini baik baik. Saya ada meeting di luar kota selama 3 hari lamanya.” Kata Pak Adnan.

“Baiklah, pak” kata Zul.

Zul malang tetap melakukan pekerjaannya seperti biasa. 3 hari berlalu, sudah seharusnya ia pulang hari ini. Ia memasak banyak hari ini untuk menyambut kepulangan majikannya. Aku melihatnya duduk, menanti kepulangan sang majikan di depan rumah tetapi ia tak kunjung datang. Hari ini sudah terlarut malam. Desis angin yang halus mengiringi tidurnya di teras rumah. Kasihan sekali dia. Kerja keras setiap hari setiap waktu namun tidak dibayar majikannya.

***

“tok, tok, tok. Assalamualaikum” kata seseorang yang tampak asing di depan rumah.

“Waalaikumsalam” Zul terbangun dari tidurnya. Aku juga kaget dibuatnya.

“apakah kamu kenal dengan seorang yang bernama pak Adnan? Apakah ini rumahnya?” kata orang itu.

“Ya pak, saya pembantunya. Tapi pak adnan sudah 3 hari ini tidak pulang.” Kata Zul.

“Begini pak. Pak Adnan baru saja mengalami kecelakaan. Kakinya patah dan ia lumpuh total sekarang.” Kata orang itu.

“Loh, kenapa bisa? Di mana ia sekarang?” kata Zul penasaran.

Ia tertabrak oleh truk dari arah yang berlawanan, kemungkinan ia mabuk saat menyetir mobil. Ia sekarang ada di RS Fatmawati.” Kata orang tersebut.

“Baiklah, aku akan ke sana segera secepatnya.” Katanya merasa iba.

***

Itulah pak Adnan, ia tampak 180 derajat berbeda sekarang. Tubuhnya dipenuhi luka yang terlilit perban putih, kakinya sudah bisa digerakkan lagi. Tampaknya kini, ia harus menggunakan kursi roda selamanya. Di belakangnya adalah Zul yang senantiasa merawatnya sejak dari rumah sakit. Zul mendorongnya dengan penuh kasih sayang. Air tuba dibalas air susu. Mungkin peribahasa itu cocok dengan keadaannya. Memang tidak ada peribahasa seperti itu, yang ada adalah air susu dibalas air tuba.

***

Dua bulan telah berlalu, sejak kecelakaan itu menimpanya, ia lebih sering melamun sekarang. Merenungi nasibnya yang malang. Merenungi segala kesalahan dan dosanya di masa lampau. Ingin sekali ia diberikan kesempatan sekali lagi, memutar waktu kembali untuk memperbaiki kesalahannya. Ia sudah bukan seorang direktur sekarang.

Bagaimana dengan Zul? Ia tetap merawat dan menjaga pak Adnan sebagaimana ia berbakti kepada orang tuanya dulu. Zul telah diangkat sebagai anak oleh pak adnan dan statusnya kini adalah sebagai anak angkat pak Adnan. Pak Adnan benar benar telah berubah 180 derajat sifatnya. Ia tidak sombong lagi. Ia juga lebih taat beribadah sekarang. Rencananya, ia akan kurban kambing pada Idul Haji tahun ini. Sebelumnya, ia belum pernah kurban. Inilah kurban yang pertama dalam sejarah hidupnya.

***

Takbir, tahmid, dan tahlil berkumandang terus menerus hari ini. Bersamaan dengan ibadah haji yang sedang berlangsung di mekah. Hari ini adalah tepat setahun kematian orang tuaku. Aku dibawanya ke halaman luas di belakang Masjid Jami. Haruskah aku senang atau justru sedih? Sebenarnya aku masih penasaran apa yang terjadi pada Zul dan pak Adna setelah ini. Tapi apa daya, ajal akan lebih dulu menjemputku. Ajal yang sama dengan ajal kedua orang tuaku. Ajal untuk kebaikan orang lain, ajal yang kunantikan dulu. Mengutip kata yang telah kutulis di abstraksi, ‘aku hanyalah budak yang sedang menanti ajal.”

Dibuat tahun 2016 sebagai tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas 11. Diterbitkan dalam Satu Gubuk Dua Cinta — Kumpulan Cerpen (Penerbit Lasaripi).

Read also  Dating : I Choose Me

What do you think?

22 Points
Upvote Downvote

Laisser un commentaire

Votre adresse e-mail ne sera pas publiée. Les champs obligatoires sont indiqués avec *

Dating : Older guys?!

Dating : I have a hard time connecting with women my age