in

Dating : Seberang

h2>Dating : Seberang

Memulihkan

(Menampilkan Boo)

Aku takkan melihat aku. Aku hanya menatapmu, jikapun harus menengok diri sendiri, itu hanya sebuah bayang-bayang. Walaupun penulis itu berkata bahwa bayang-bayang adalah refleksi yang nyata. Kenyataan itu adalah hal-hal klise pada sebuah lagu yang terdengar di laptop mungil masa sekolah menengah, bahwa kelahiranku untuk mengatakan ‘aku mencintaimu’. Kini kata-kata itu bukan saja klise, namun sudah berserakan di mana-mana. Di ponsel lamamu yang menyala-nyala kekuningan dahulu, pesan usang yang terkirim dengan bayaran sesuai hitungan karakter, atau sampai pada ponsel pintar terakhir sebelum kau ganti yang ini. Lelet bukan main, namun sarat dengan ungkapan itu. Kau perbaharui ponselmu dan kata-kata itu masih sama, tertuju pada seseorang yang sama, lalu sebab mudahnya guna ponsel itu sekarang, canggih bukan main, maka ada orang lain lagi yang coba kau beri kata serupa, bahwa ‘kau mencintaiku’ lewat ponsel yang baru kau beli setahun yang lalu.

Ponsel demi ponsel, kata-kata sejenis, berbahasa Indonesia ataupun bahasa asing yang mengendap di otakmu. Sehingga kau harus menggantinya sesekali dengan bahasa ‘itu’. Maka kata-kata itu terucap pada orang-orang yang berbeda. Lantas, siapakah pemilik kata itu sejatinya? Kata seorang filsuf aneh yang tiap kali berdebat seringnya menyentuh hidung sebab banyak mengonsumsi kokain katanya, ia bergumam, yang jauh lebih penting dari sebuah kebahagiaan bukan pada mengapa kau menasbihkannya sebagai tujuan, melainkan kau tahu mengapa kau begitu ‘menginginkan’ kebahagiaan itu.

Lirik sebuah lagu dari penyanyi kota ini turut menambahkan soal ‘yang tak wajib dari rasa adalah luka’. Kau mungkin menyukai penyanyi itu. Aku juga, tapi sayang sekali segala yang akan terungkap di sini adalah apa yang tak wajib itu. Bayang-bayang itu kini hadir. Bayang-bayang itu adalah sebuah sayatan yang menganga, dan Tuhan memang tak pernah absen untuk mengikuti kisah kita. Seberapa jauh kita menjauhinya Ia yang berhak atas yang reflektif dari bayang-bayang itu. Entah akan dikatakan sebagai apa bayang-bayang dari sesuatu yang akan pulih atau tidak ini. Cinta kah? Bagaimana jika yang berhak menjawabnya adalah Tuhan? Apa kau akan menemui-Nya, atau paling tidak memercayainya kembali sesekali? Sedangkan Tuhan sudah terlampau jauh. Ia ada, tetapi tak sering dihadirkan.

Sementara apa yang di depanmu sekarang adalah cerita-cerita tentang kenyataan. Perihal kejadian-kejadian juga angan-angan yang bersemayam pada dirimu yang tak pernah lagi kau dalami. Rumah di seberang sungai lebar yang tak cukup kau datangi dengan berenang dari tepian ke tepian karena berarus deras. Warung-warung kopi yang dekat tetapi seringnya tak sanggup kau sambangi hanya karena malas jalan kaki dan tak enak hati. Tempat-tempat tak kau kenal dan enggan kau pikirkan untuk sedikit berniat mengetahuinya saja tak kau hiraukan. Kehidupan, yang tak pernah membawa kakimu ke mana-mana, kecuali bekerja, menuntun mulutmu berbicara, dan sesekali pulang ke rumah.

Bagaimana bila kau lakukan itu dengan selalu marah pada Tuhan tapi Ia begitu mencintaiku? Apa yang harus ‘kita’ lakukan? Apakah tidak melakukan apa-apa?

Kasih, aku baru ingat kisah ini tentangmu. Akan tetapi sesekali aku berkesimpulan untuk berpikir bahwa Tuhan tak mencintaimu. Sungguh nista aku yang sok tahu. Ia berikan kau kehidupan yang sulit. Bahkan Ia hadirkan aku yang rumit ini di sela-selanya. Itulah alasan mengapa segala tentang kita adalah luka-luka yang tak sempit. Ia menjadi selebar belanga bukan lagi panci kecil untuk masak mi instan yang digunakan terlalu sering untuk melenyapkan kelaparan yang terlalu. Beginilah nasib kau yang miskin itu. Kau yang tak punya apa-apa serumu tegas. Kau akan menemuiku yang juga suka mengeluh tak punya uang suatu waktu dengan tak punya apa-apa. Betapa merananya kemudian ‘kita’. Tapi lagi-lagi kisah ini tentangmu, kasih. Aral demikian tak jua membuatku memadamkan lampu belajarku ketika asyik membaca meskipun sambil terkantuk-kantuk. Aku akan buatkan cerita-cerita di jalanan dari sorot lampu, tentangmu, dan saat bersamaan aku takzim memandangi gemerlap cahaya-cahaya itu, kau juga sedang menikmati keretamu. Kau pulang, aku juga pulang malam ini dari warung kopi dekat dengan persemayanmu. Kita dilarang oleh Tuhan untuk semena-mena atas hidup. Bagaimana bila yang kemudian dimaksud dengan hidup itu adalah ‘saling menyembuhkan?’.

Aku pernah bilang padamu jika sesekali kau perlu berdiri di tengah jalan, meninggalkan pekerjaan dan mendongak ke langit malam-malam untuk melihat bulan. Aku melihat bulan itu ketika justru kekesalan muncul di benakku saat kau yang lelah tak juga berhenti untuk meninggalkan sejenak pekerjaanmu. Aku risau sendirian, ingin duduk di kursi luar warung kopi namun tak sanggup berlama-lama marah. Aku justru ingat waktu capung-capung terbang pagi itu di atas motor kita, langit pagi di selatan Jogja. ‘Di dekat rumahku capung-capung sudah tidak ada’. Kau hanya diam, kita melintasi jalan, melewati satu percakapan yang seringnya tak pernah berbalas panjang. Kau, barangkali sudah susah payah untuk memulai obrolan. Tapi Tuhan selalu menghukum kebersamaan kita dengan kebisuan yang amat lama, dari sore menjelang subuh, sampai tak ada manusia selain kita yang duduk di kursi-kursi, lagi-lagi di sebuah warung kopi. Bahkan permainan cacing yang biasanya hanya mencapai skor dua ratus ribu saja berhasil kutempuh dengan satu juta koin dengan percobaan berkali-kali. Betapa membosankannya kita ini, sementara tanpaku kau adalah salah satu pembicara paling ulung yang pernah dikenal.

Meskipun pengalaman di atas kereta ketigaku itu menyingkap cerita yang tak sama. Kita berbincang mesra tentang keluarga dan masa kecil yang serupa dengan yang disebut ‘menyengsarakan’. Setidaknya kita hari ini adalah pertemuan bagi kisah masa kecil itu. Dua manusia yang tak bisa menegaskan dirinya satu sama lain karena takut tersakiti. Padahal daripada sifat ini justru adalah wujud luka itu sendiri. Wajah dewasa kita ini adalah yang enggan kalah dengan orang lain ketika merasa benar sekaligus suka menghadapi berbagai hal dengan tetap belajar. Kita adalah yang bertahan dan belajar dari masa kecil yang sukar itu. Sebelum aku mengetahui kisah detail tentang sepatumu yang dicuri teman itu, beberapa jam sebelumnya aku melihat kau menatapku di sebuah angkringan di kota lain. Kau tersenyum, mencariku yang menegaskan pembicaraanmu dengan orang-orang yang ada di sana tadi. Tapi aku tak menghampirimu sampai kita memutuskan untuk pulang. Bercerita panjang lebar sambil memandangi deretan rumah, sawah, dan pohon di pinggir rel kereta api, silih berganti, dari jendela sebuah kereta. Ketika sampai di suatu penyeberangan rel kereta yang biasa kita lintasi, kau berlagak lucu dan terlihat senang sekali. Walaupun artinya kita sebentar lagi sampai di stasiun tujuan, dan kau mengalihkan pembicaraan tentang niatku untuk mengantarkanmu berobat.

Lagi dan lagi, kita adalah kisah tentang ‘yang memulihkan’ satu sama lain. Tapi itu tak pernah cukup dengan niat. Anak seseorang yang teori-teorinya kau gandrungi itu pun pernah berkata bahwa ‘niat baik hanya menuntunmu ke neraka’. Kita tak bisa hanya berniat, seperti rencanaku Januari lalu saat aku justru sibuk bekerja, hal itu sama dengan ketika kau menolak permintaanku untuk menyembuhkan suatu luka di badanmu bersama denganku. Ke tempat yang aku percayai dan akan kuantarkan. Tapi apa yang terjadi adalah kenyataan bahwa aku tidak tahu banyak tentang luka yang sedang kau alami, sekalipun ke tempat itu kau tidak mesti akan sembuh. Dari segala yang terjadi itu yang seringnya tak pernah kita upayakan dengan betul adalah ‘benar-benar melakukan’.

Kita adalah kisah-kisah tentang ‘niat’ saling menyembuhkan yang amat membosankan. Seperti keluar dari mulutmu segala tentang kepribadianku yang kau senangi. Dunia kita saat ini yang tak jauh beda, yang kau dambakan dahulu kala. Bahkan kau pernah bersua secara langsung tentang kelegaan dan rasa syukur. Tapi dari segala yang telah kau dapatkan ialah satu sikap di mana dalam proses itu kau tak pernah merasa cukup. Kau bilang tak menyukai cerita-cerita lama itu karena dunia yang berbeda. Tapi pada kisah yang baru saja dimulai, yang kau sebut ‘dunia yang sama’, kau meninggalkanku sendirian. Tak lagi memintaku menunggu di seberang jalan untuk kuantarkan ke rumah meskipun artinya kau harus terlebih dahulu berjalan karena menghindari polisi yang bertugas di jalanan.

Kasih, selamat memulihkan diri, sendirian, karena kau memang gemar untuk menolak sembuh bersamaku. Jalan ke rumahku jauh lebih dekat ketimbang perjalanan ke rumahmu. Aku bahkan tak bisa membayangkan bagaimana rumahmu. Tapi yang lebih tak bisa kubayangkan adalah kapan kau akan kembali, memenuhi segala yang pernah kau ucapkan dan rencanakan.

Seperti yang sudah-sudah, aku yakin bahwa Tuhan mencintaiku tapi ternyata bukan juga tak mencintaimu, melainkan Ia membenci kebersamaan kita, yang dipenuhi luka menganga, tapi masih gemar untuk mengeja penyakit ketimbang menuju rumah sakit bersama-sama. Mungkin segala kan pulih sendiri? Atau penyakit itu tak harus dibawa ke rumah sakit? Entah.

“Aku sepertinya tidak jadi mudik…” katamu sambil mengendarai motor, melintasi penyeberangan rel kereta yang saat itu kau bersikap girang sekali melintasinya dari dalam kereta api.

“Kenapa?” kataku, dan kau menimpali jawaban namun aku tak mendengar maksudmu dengan jelas.

Aku menghisap rokok dari tempat duduk suatu warung kopi yang pernah kau gunakan untuk mengerjakan tugas sambil tak menghiraukanku. Aku mendengar kabar bahwa janji kita bertemu harus tertunda, bahkan bisa jadi tak laksana. Tuhan kataku, benar-benar tak ingin kita bertemu bila masih begitu. Akhirnya aku pulang dan kau juga dalam perjalanan pulang, lebih jauh, kau mungkin sedang melongo melihat percik-percik cahaya lampu dari jendela kereta api, itupun jika kau tak tidur sebab seringnya hanya istirahat dua-tiga jam sehari-harinya. Sedangkan sepanjang jalan pulang lampu-lampu di pinggir jalan raya itu selalu menarik untuk kuajak membayangkan ‘naik motor berdua’, seperti saat hujan-hujanan pertama kali itu. Ketika kita berpisah dan kau berniat melambaikan tangan seperti orang Korea. Semoga bukan kabar buruk, do’a untukmu bagi segala hal yang akan membaik. Lupakan tentang ‘pesan’, dalam dunia paling semrawut dalam mengirimkan pesan, ia adalah yang paling ulung untuk mengabaikannya. Anyeong.

4.5.20

Read also  Dating : নিরব নিশি

What do you think?

22 Points
Upvote Downvote

Laisser un commentaire

Votre adresse e-mail ne sera pas publiée. Les champs obligatoires sont indiqués avec *

Dating : To All The Flowers Growing Through Concrete

Dating : How To Help Your Relationship Survive Lockdown